Polemik Pendidikan dalam UU Ciptaker*
Aji Sofanudin
Undang-undang Omnibus Law atau Cipta Kerja yang baru disahkan DPR
RI, 5 Oktober 2020 menuai banyak kritikan. Elemen buruh, para pekerja
dan mahasiswa melakukan aksi penolakan terhadap UU tersebut. Dari
sebelas klaster yang dibahas, masalah ketenagakerjaan mendapatkan
sorotan yang tajam dari masyarakat. Meskipun demikian, “klaster
pendidikan” juga tak luput dari perhatian masyarakat.
Dalam UU Cipta Kerja, halaman 11, Pasal 26 disebutkan bahwa
“pendidikan dan kebudayaan” menjadi salah satu sektor perizinan
berusaha. Lebih jelas pada halaman 392 Pasal 65 (1) disebutkan
bahwa “pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan
melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini”. Meskipun sederhana, regulasi ini memiliki implikasi luas, karena
menganggap bahwa “pendidikan sebagai bagian dari sektor usaha,
usaha di bidang pendidikan”. Dengan mengamini paradigma ini, berarti
bangsa ini menuju ke arah komersialisasi, privatisasi dan liberalisasi
pendidikan. Perijinan usaha mengasumsikan bahwa pendidikan
sebagai kegiatan untuk komersial.
Filosofi Pendidikan
Tidak bisa dipungkiri bahwa realitas di lapangan ada fakta yang
menyebutkan sebagian dari sekolah mempraktekkan “bisnis” pendidikan.
Hal ini bisa dilihat dari mahalnya biaya pendidikan pada lembaga pendidikan tertentu. Biasanya sekolah dengan label internasional dan label tertentu mematok biaya yang tinggi. Filosofi Jawa menyebutkan
“ono rego ono rupo” artinya untuk kualitas pendidikan yang baik dibutuhkan
biaya yang tinggi.
Mutu dan biaya pendidikan ibarat coin mata uang. Tidak bisa dipisahkan
tetapi dapat dibedakan. Mahalnya biaya pendidikan di satu sisi dan mutu
pendidikan di sisi yang lain. Meskipun perlu disadari bahwa besarnya
biaya pendidikan haruskah sepenuhnya di bebankan kepada orang tua?
Pada sekolah tertentu, memang demikian adanya. Filosofi pendidikan
sebagai bagian dari lini usaha/bisnis tertentu.
Dalam batas tertentu, pandangan ini diamini oleh Edward Sallis (2002)
dalam bukunya Total Quality Management in Education. Mutu pendidikan
ditentukan oleh dua hal: mutu standar dan mutu persepsi. Mutu standar
bisa juga diartikan sebagai mutu satuan pendidikan berdasarkan akreditasi
oleh BAN S/M. Ada juga menambahkan lisensi, ISO, dan pemeringkatan
lembaga pendidikan. Ukuran mutu bisa juga karena satuan pendidikan
menerapkan sistem pengelolaan pendidikan boarding/asrama/pesantren.
Ada juga ukuran jumlah prestasi; akademik dan non akademik yang
diperoleh oleh satuan pendidikan tertentu.
Sementara mutu persepsi bisa bermacam-macam, misalnya karena
lembaga pendidikan tersebut menerapkan pembiasaan tertentu,
gerakan furudlul ‘ainiyah, nilai agama (madzhab) tertentu. Fungsi
Pendidikan memang tidak semata transfer of knowledge tetapi juga
mengandung transfer of values. Nilai-nilai ormas keagamaan juga
kental dalam pembelajaran di satuan pendidikan yang berbasis ormas
keagamaan.
Mutu persepsi ada juga yang mengkaitkan dengan persoalan biaya
pendidikan. Semakin mahal biaya pendidikan, akan diperoleh mutu
pendidikan yang tinggi. Pada segmen masyarakat tertentu, persoalan
ini tidak menjadi masalah. Tetapi tidak bisa digunakan sebagai untuk
semua. Pendidikan bukan layaknya barang dagangan yang diperjual
belikan.
Dalam konteks ini, negara dan pemerintah wajib menyediakan pendidikan
untuk semua atau education for all. Pemerolehan pendidikan merupakan
hak warga negara. Dan, pemerintah sudah menjalankan itu dengan program
wajib belajar 9 tahun. Bahkan sekarang bergeser menjadi quality education
for all, pemerintah berkwajiban menyediakan Pendidikan bermutu untuk
seluruh warga negara. Kebijakan zonasi, merupakan upaya awal untuk
menyediakan pendidikan yang bermutu untuk seluruh sekolah.
Pendidikan sebagai “barang dagangan” tidak sesuai dengan filosofi
pendidikan bangsa Indonesia. UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan
merupakan hak warga negara dan kewajiban negara. Pasal 31 UUD 1945
disebutkan (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Komersialisasi pendidikan jelas tidak selaras dengan
pandangan ini.
Di tambahkan pada ayat (3) pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang, (4) negara
memprioritaskan anggaran Pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan Pendidikan. Regulasi ini jelas menyebutkan arah
dan strategi pendidikan nasional.
Pendidikan adalah investasi, investasi di bidang Sumber Daya Manusia.
Pemerintah tidak boleh lepas tangan, dengan menyerahkan persoalan
mutu pendidikan kepada pihak “swasta”. Pemerintah harus menentukan
standar pendidikan dan memfasiliasi pemenuhan standar tersebut.
Anggaran pendidikan sebesar 20 % wajib dipenuhi demi menghasilkan
SDM unggul untuk Indonesia Maju.
Tugas pendidikan memang bukan semata tugas pemerintah. Pendidikan
adalah kewajiban bersama pemerintah, sekolah, dan masyarakat.
Menyerahkan persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha di bidang
pendidikan sama dengan menyerahkan persoalan pendidikan kepada
masyarakat. Padahal, pemerintah harus hadir tidak saja dalam pemenuhan
biaya operasional pendidikan dalam bentuk BOS (Bantuan Operasional
Pendidikan). Lebih dari itu, pemerintah harus memastikan bahwa satuan
pendidikan kita untuk menguatkan kebanggsaan kita, tidak disusupi ajaran
ekstrim; baik kanan maupun kiri. Wallahu’alam
Semarang, 17 Oktober 2020
*Aji Sofanudin*
Peneliti Ahli Madya bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan