Bagian 1 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد *Kelahiran Muhammad صلى الله عليه وسلم* Pada hari Senin pagi tanggal 12 Rabiul Awwal pada tahun yang sama dengan penyerbuan Abrahah (tahun gajah), Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu bertepatan dengan bulan Agustus tahun 570 Masehi. (Sebagian pendapat mengatakan bahwa Aminah melahirkan pada tanggal 20 atau 21 April tahun 571 Masehi). Aminah mengutus seseorang sambil berkata, “Pergilah kepada Abdul Muthalib dan katakan, ‘Sesungguhnya telah lahir bayi untukmu. Oleh karena itu, datang dan lihatlah ‘.” Abdul Muthalib bergegas datang. Ketika mengambil bayi itu dari pelukan Aminah, dadanya bergemuruh dipenuhi rasa sayang. “Kehadiranmu mengingatkan aku kepada ayahmu. Sungguh, di hatiku kini dirimu hadir sebagai pengganti Abdullah.” Dengan penuh rasa syukur, orangtua itu menggendong cucunya berthawaf, mengelilingi Ka’bah. Kali ini tidak kepada berhala, tetapi kepada Allah. Abdul Muthalib berdoa dan bersyukur. “Aku memberimu nama Muhammad,” kata Abdul Muthalib. *Muhammad* berarti *terpuji*, sebuah nama yang tidak umum di kalangan masyarakat Arab, tetapi cukup dikenal. Kemudian, ia memerintahkan orang untuk menyembelih unta dan mengundang makan masyarakat Quraisy. “Siapa nama putra Abdullah, cucumu itu?” tanya seseorang kepada Abdul Muthalib. “Muhammad.” “Mengapa tidak engkau beri nama dengan nama nenek moyang kita?” “Kuinginkan ia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abdul Muthalib. *Cahaya Aminah* Ketika Aminah mengandung Nabi Muhammad, ia melihat seberkas sinar keluar dari perutnya dan dengan sinar tersebut ia melihat istana-istana Busra di Syam. Saat itu di kalangan bangsawan Arab sudah berlaku tradisi yang baik, yakni mereka mencari wanita-wanita desa yang bisa menyusui anak-anaknya. Anak-anak disusukan di pedalaman agar terhindar dari penyakit, memiliki tubuh yang kuat dan agar dapat belajar bahasa Arab yang murni di daerah pedesaan. Tidak lama kemudian ke Mekah datanglah serombongan wanita dari kabilah bani Sa’ad mencari bayi untuk disusui. Di antara mereka ada seorang ibu bernama Halimah binti Abu Dzu’aib. “Suamiku,” Panggil Halimah “tahun ini sungguh tahun kering tak ada tersisa sedikit pun hasil panen di kampung halaman kita. Lihat unta tua kita tidak lagi menghasilkan susu sehingga anak-anak menangis pada malam hari karena lapar.” “Semoga kita mendapat bayi seorang bangsawan kaya yang dapat memberi kita upah yang layak untuk menanggulangi kesengsaraan ini,” jawab sang suami. Namun harapan mereka tak terkabul, hampir semua bayi bangsawan kaya telah diambil oleh teman-teman serombongan mereka. Hanya ada satu bayi dalam gendongan ibunya yang mereka temui. “Namanya Muhammad” kata Aminah kepada pasangan tersebut “ia anak yatim tinggal aku dan kakeknya yang merawatnya.” Halimah dan suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza saling berpandangan. Mereka enggan menerima anak yatim karena tidak ada Ayah yang dapat memberi mereka upah yang layak. Pasangan tersebut menggeleng dan pergi mencari bayi lain, Aminah memandangi bayi dalam dekapannya dengan sendu. Setiap wanita Bani Saad yang mendapat tawaran untuk menyusui Muhammad, selalu menolaknya karena anak yatim. *Tsuwaibah* Sebelum kedatangan para wanita Bani sa’ad, Muhammad disusui Tsuwaibah budak perempuan Abu Lahab. Hanya beberapa hari Muhammad disusui oleh Tsuwaibah. Akan tetapi, di kemudian hari, di sepanjang hidupnya Muhammad selalu memperlakukan Tsuwaibah dengan baik. Bersambung.[10/3, 12:41 PM] +62 815-5506-045: *KISAH RASULULLAH ﷺ* Bagian 2 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد *”Halimah”* Ketika Halimah dan Harits kembali ke rombongan, mereka melihat semua kawan mereka telah mendapatkan bayi untuk dibawa pulang dan disusui. Melihat itu, Halimah berkata kepada suaminya, “Demi Allah, aku tak ingin mereka melihatku pulang tanpa membawa bayi. Demi Allah, aku akan pergi kepada anak yatim itu dan mengambilnya.” “Tidak salah kalau engkau mau melakukannya. Semoga Allah memberi kita keberkahan melalui anak yatim tersebut.” Akhirnya Halimah dan suaminya kembali menemui Aminah dan membawa Muhammad ke dusun mereka. Aminah melepas bayinya itu dengan perasaan lega bercampur sedih. Lega karena akhirnya ada yang mengasuh Muhammad, sedih karena harus berpisah dengannya selama dua tahun ke depan. “Pergilah, Nak. Ibu menunggumu di sini,” bisik Aminah dengan pipi yang hangat dialiri air mata. Tatkala menggendong Muhammad, Halimah keheranan, “Aku tidak merasa repot membawanya, seakan-akan tidak bertambah beban.” Kemudian, Halimah menyusui Muhammad. “Lihat, bayi ini menyusu dengan lahap,” kata Halimah kepada suaminya. Setelah menyusui Muhammad, Halimah menyusui bayinya sendiri. Bayi itu juga menyusu dengan lahap. Setelah itu, Muhammad dan bayi Halimah tertidur dengan lelap. “Anak kita tidur dengan lelap,” bisik Halimah kepada suaminya, “padahal, sebelumnya kita hampir tidak bisa tidur karena ia rewel terus sepanjang malam.” Malam itu, keduanya bertambah heran karena unta tua mereka ternyata kini menghasilkan susu. “Engkau tahu, Halimah. Sebelum ini unta tua kita tidak menghasilkan susu setetes pun,” gumam Harits. Suami istri itu meminum air susu unta sampai kenyang. “Malam ini benar-benar malam yang indah, ” kata Halimah kepada Harits, “bayi kita tertidur lelap dan kita pun bisa beristirahat dengan perut kenyang.” “Demi Allah, tahukah engkau Halimah, engkau telah mengambil anak yang penuh berkah.” “Demi Allah, aku pun berharap demikian.” Kebanggaan Rasulullah Lingkungan di Bani Sa’ad benar-benar sangat murni. Kelak Rasulullah pun dapat berkata dengan bangga, “Aku adalah keturunan Arab yang paling tulen. Sebab aku anak suku Quraisy yang menyusui di Bani Sa’ad bin Bakr.” اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد Keberkahan Keberkahan yang dibawa Muhammad kecil tidak berhenti sampai di situ. Ketika dalam perjalanan kembali ke dusun Bani Sa’ad, terjadi hal yang mengherankan. “Suamiku, tidakkah engkau melihat hal yang aneh pada keledai tungganganku?” tanya Halimah. “Saat kita pergi, keledai ini berjalan pelan sekali,” Harits menanggapi, “tetapi, kini ia dapat berjalan cepat seolah tak kenal lelah. Padahal, beban yang dibawanya cukup berat.” Keledai itu berjalan cukup cepat sehingga bisa menyusul dan melewati rombongan wanita Bani Sa’ad lainnya yang telah berjalan lebih dulu. “Halimah putri Abu Dhu’aibi!” panggil para wanita itu keheranan, “tunggulah kami! Bukankah ini keledai yang engkau tunggangi saat kita pergi?” “Demi Allah, begitulah,” balas Halimah, “ini memang keledaiku yang dulu.” “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa!” Ketika tiba di rumah, Halimah dan Harits tambah terkejut. “Sepetak tanah kita!” bisik Halimah tak percaya. “Sepetak tanah kita ini jadi begitu hijau dan subur! Padahal, saat kita berangkat, tak ada sepetak tanah pun yang lebih gersang dari ini!” “Domba-domba juga!” seru Harits, “domba domba kita jadi gemuk dan susunya penuh. Kini kita dapat memerah dan meminum susu mereka setiap hari.” Begitulah keberkahan yang mereka terima selama mengasuh Muhammad. Namun, dua tahun pun berlalu, kini tiba saatnya mengembalikan Muhammad kepada ibunya.Bersambung.[10/3, 12:41 PM] +62 815-5506-045: *KISAH RASULULLAH ﷺ*Bagian : 3 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد *Muhammad Kembali Ke Dusun* Halimah dan suaminya mengembalikan Muhammad kepada Aminah. Alangkah bahagianya Aminah bertemu lagi dengan putra tunggalnya itu. “Lihat! Kini engkau tumbuh menjadi anak yang tegap dan sehat!” ujar Aminah. Aminah memandang Halimah dan suaminya dengan mata berbinar-binar penuh rasa terimakasih,” Kalian telah merawat Muhammad dengan baik, bagaimana aku harus berterimakasih?” Halimah dan suaminya berpandangan dengan gelisah. Sebenarnya mereka merasa berat berpisah dengan Muhammad. Mereka amat menyayangi anak itu. Selain itu, sejak Muhammad datang, kehidupan mereka dipenuhi keberkahan. “Kami cuma berharap andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab, aku khawatir ia terserang penyakit menular yang kudengar kini sedang mewabah di Mekah,” pinta Halimah. Aminah menyadari bahwa yang mereka pinta dan katakan ada benarnya, tetapi hatinya bimbang karena hampir tak sanggup berpisah lagi dengan putranya. Ketika, Abdul Muthalib datang. Bangga sekali ia melihat pertumbuhan cucunya yang begitu bagus di daerah pedalaman, maka ia berkata: “Aku ingin Muhammad kembali ke Dusun Bani Sa’ad sampai ia berusia lima tahun,” kata Abdul Muthalib, “agar ia di situ belajar berkata-kata dan telinganya terbiasa mendengarkan bahasa Arab yang murni dengan fasih pula.” Aminah mengerti bahwa ia harus kembali melepas Muhammad demi masa depan putranya sendiri. “Beri aku waktu beberapa hari bersama putraku, setelah itu bolehlah kalian membawanya kembali,” kata Aminah. Akhirnya, Muhammad pun dibawa kembali ke dusun Bani Sa’ad. Namun, di sana ia mengalami sebuah peristiwa yang sangat mengguncangkan. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد *Pembelahan Dada* Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah keluarga Halimah kembali ke pedalaman. Saat itu umur Muhammad belum lagi genap tiga tahun.Hari itu, Muhammad kecil ikut menggembalakan kambing bersama saudara-saudaranya. Tiba-tiba salah seorang putra Halimah datang berlari-lari sambil menangis. “Ada apa?” Tanya Halimah dan suaminya panik. “Saudaraku yang dari Quraisy itu! Dia diambil oleh seorang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan. Perutnya dibelah sambil dibalik-balikkan!” Halimah dan Harits segera berlari mencari Muhammad. Mereka menemukan anak itu sedang sendiri. Wajah Muhammad pucat pasi. Halimah dan suaminya memperhatikan wajah Muhammad baik-baik. “Apa yang terjadi padamu, Nak?” tanya mereka. “Aku didatangi oleh seorang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka cari.” Tanpa bertanya lagi Halimah segera membawa Muhammad pulang. Hatinya dipenuhi kecemasan. “Aku takut Muhammad didatangi dan digoda oleh jin” kata Halimah kepada suaminya. “Lebih baik kita membawanya kembali ke Mekah,” jawab Harits BersambungReplyForward |