Politic

Sikap PBNU Terhadap RUU HIP*PERKUAT PANCASILA SEBAGAI KONSENSUS KEBANGSAAN*
بسم الله الرحمن الرحيم
Setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap Naskah Akademik, rumusan draft RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan Catatan Rapat Badan Legislasi DPR RI Dalam Pengambilan Keputusan atas Penyusunan RUU HIP tanggal 22 April 2020, serta mencermati dengan seksama dinamika yang berkembang di masyarakat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa segala ikhtiar untuk mengawal, melestarikan, dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah bangsa, dasar negara, dan konsensus nasional patut didukung dan diapresiasi di tengah ancaman ideologi transnasionalisme yang merapuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa dan persatuan nasional. 
2. Bahwa Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa’) yang disepakati sebagai dasar negara adalah hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan Kebangsaan. Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius. 
3. Bahwa rumusan final Pancasila merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa yang terdiri dari banyak golongan. Karena itu, menonjolkan kesejarahan Pancasila 1 Juni dengan mengabaikan kesejarahan 22 Juni dan 18 Agustus berpotensi merusak persatuan, membenturkan agama dengan negara, dan menguak kembali konflik ideologis yang akan menguras energi bangsa. Tindakan apapun yang dapat menimbulkan mafsadah bagi persatuan nasional WAJIB dihindari, karena Pancasila dirajut oleh para founding fathers justru untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam sebuah tenda besar. 
4. Bahwa Pancasila sebagai perjanjian agung (ميثاقا غليظا) tersusun dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai, di mana sila Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Kesatuan nilai-nilai Pancasila yang saling menjiwai itu tidak bisa diperas lagi menjadi trisila atau ekasila. Upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila akan merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai Philosophische Grondslag (falsafah dasar) maupun Staatsfundamentalnorm (hukum dasar) yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945.
5. Bahwa Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm adalah hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan (معاهدة وطنية), Pancasila tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang akan menimbulkan anarki dan kekacauan sistem ketatanegaraan.  
6. Bahwa Pancasila sebagai Philosophische Grondslag adalah falsafah dasar yang menjadi pedoman untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara, Pancasila merupakan ideologi prinsip yang menjiwai sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Penerjemahan Pancasila sebagai ideologi kerja selalu mempertimbangan dinamika dan perkembangan zaman. Membakukan tafsir atas Demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan mempersempit ruang tafsir yang memandekkan dinamika, kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman.
7. Bahwa kesalahan yang terjadi di masa lampau terkait monopoli tafsir atas Pancasila tidak boleh terulang lagi. Kendati demikian hal ini bukan meupakan dasar dan alasan yang dapat membenarkan perluasan dan/atau penyempitan tafsir atas Pancasila dalam suatu undang-undang yang isinya mengatur demokrasi politik Pancasila dan demokrasi ekonomi Pancasila sebagaimana RUU HIP.
8. Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang prakteknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.
9. Bahwa setelah mencermati dengan seksama Naskah Akademik dan draft RUU HIP, PBNU menyampaikan penilaian sebagai berikut:
1. Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.  2. Pasal 13, 14, 15, 16,  dan 17 mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada mono-tafsir Pancasila.3. Pasal 22 dan turunannya tidak relevan diatur di dalam RUU HIP.4. Pasal 23 dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara. 5. Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 merupakan bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu.6. Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan.
10.   Nahdlatul Ulama memandang bahwa Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang bersifat final. Oleh karena itu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo tahun 1983, dan dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984, menetapkan hubungan Pancasila dengan Islam sebagai berikut: (i)  Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; (ii) Sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam islam; (iii) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia; (iv) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya; dan (v) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran dan penilaian atas Naskah Akademik, rumusan draft RUU HIP dan Catatan Rapat Badan Legislasi DPR RI Dalam Pengambilan Keputusan atas Penyusunan RUU HIP tanggal 22 April 2020, serta dengan mencermati dinamika yang terjadi dalam masyarakat, PBNU menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit  dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945. 
2. RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis.
3. Tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan Staatsfundamentalnorm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional. Jika dirasakan ada masalah mendasar terkait pembangunan nasional di bidang demokrasi politik Pancasila,  maka jalan keluarnya adalah reformasi paket undang-undang bidang politik (legislative review). Begitu pula jika ada masalah terkait dengan haluan pembangunan ekonomi nasional, yang dirasakan menyimpang dari jiwa demokrasi ekonomi Pancasila, maka yang perlu dipersiapkan adalah RUU Sistem Perekonomian Nasional sebagai undang-undang payung (umbrella act) yang secara jelas dimandatkan oleh Pasal 33 ayat (5) UUD 1945. 
4. Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional. 
5. Sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional.                                             Jakarta, 24 Syawal 1441   H               16 Juni     2020   M   Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.Ketua Umum
DR. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini Sekretaris Jenderal(Psabber

J0K0WI ITU SANGAT TEGAS.
Yang Membubarkan Petral adalah Sudirman SaidYang Membongkar Kongkalikong Luhut dan Setya Novanto dalam Saham Freeport Juga Sudirman Said.
Disini J0k0wi Sangat Tegas Langsung Memecat Sudirman Said.
Karena Sudirman Said Sangat Berani Melawan Mafia Migas dan Pertambangan.
J0K0WI ITU SANGAT TEGAS.
Yang Membubarkan Mafia Import, Mafia Pelabuhan, Mafia Pajak  adalah RIZAL RAMLI.
Disini J0k0wi Sangat Tegas Langsung Memecat Rizal Ramli.
Karena RIZAL RAMLI sangat Berani Melawan Mafia.
J0K0WI ITU SANGAT TEGAS.
Yang Melakukan Revolusi  Pendidikan  di Departemen Pendidikan adalah Anies Baswedan.
Pendidikan Agama harus di Tambah Jam nya.
Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti Harus di Perbanyak, Pendidikan Moral Pancasila di Hidupkan lagi.
Disini J0k0wi sangat Tegas Langsung Memecat Anies Baswedan.
Karena Takut Anies Akan di Dukung Seluruh Jajaran Guru dan Orang Tua yang Sayang Anak nya.
Sepulu juta lapangan pekerjaan, tidak bagi2 kursi, harga sembako murah meriah, tidak pernah impor apapun, tingkat kemiskinan menurun, ekonomi meroket, pokok nya semua janji nya sudah terpenuhi sehingga rakyat nya sejahtera… 
Masih ada yang meragukan ketegasan dan kecerdasan  jokowi ??? 
#RevolusiMental#Nawacita#JalurSutra

*Seminar Di UGM Batal Karena Teror dan Intimidasi: Bagian Demokrasi?*
Sejumlah civitas akademika kampus UGM mendapat teror. Aksi ancaman dan intimidasi itu mereka dapatkan berkaitan dengan partisipasi mereka dalam Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) dengan tema: Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan.
Judul itu sempat diganti menjadi ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan’. Namun teror terus berdatangan berupa ancaman semua nama yang terlibat dalam kegiatan, hingga kepada keluarga mereka, termasuk ancaman pembunuhan.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FHUII) Prof Dr Ni’matul Huda SH Mhum termasuk yang mendapatkan teror. Rumahnya didatangi orang dan digedor sejak malam hingga pagi hari.
*Komentar:*
Ini adalah anomali terhadap rezim Jokowi yang beberapa kali menyatakan terbuka terhadap kritik. Pada November 2015, misalnya Presiden mengatakan, “Kalau hanya berkaitan dengan saling mengkritik atau saling memberikan kritik yang pedas, saya kira tidak masalah…Mau ngomong sekasar apapun kepada saya, enggak akan marah saya…”(sindonews.com, 6/11/2015). Pada periode pertama pemerintahannya Jokowi mengatakan ia rindu didemo, “Tolong saya didemo, pasti saya suruh masuk.” (tempo.co, 12/2/2012).
Lain perkataan, lain perbuatan. Selama dua periode pemerintahan, penangkapan terhadap sejumlah aktivis yang keras melakukan kritik justru marak terjadi. Meski semua penangkapan itu atas laporan pendukung petahana, tapi presiden membiarkan hal itu terjadi. Misalnya penangkapan terhadap Habib Bahar Smith, Ustadz Alfian Tanjung, pendakwah muda Ali Baharsyah, Jenderal Purnawiran Kivlan Zein, dan terakhir Kapten Infanteri Ruslan Buton. Masih banyak lagi nama-nama yang terjerat hukum karena kritik.
Sekarang, selevel diskusi ilmiah pun mengalami persekusi, padahal dibahas dalam sistem hukum ketatanegaraan republik Indonesia yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan UUD 45, masih juga dipersekusi bahkan dengan cara-cara yang teramat kasar. Dan biasanya para pelaku teror itu bisa mendukung petahana mudah lolos dari pengusutan apalagi ditindak secara hukum.
Terbukti demokrasi selalu gunakan cara tarik-ulur kebijakan. Kapan mereka mau dilonggarkan, tapi kapan mereka tak suka akan ditarik sampai rakyat tercekik. Ini juga jadi pertanda bahwa kekuasaan yang dibangun rezim ini semakin rapuh. Berdiri dengan metode tangan besi dan serangkaian kedustaan. Dulu bilang senang dikritik, rindu didemo, belakangan justru memberangus mereka yang berseberangan.[]
*SELENGKAPNYA:*https://mediaumat.news/seminar-di-ugm-batal-karena-teror-dan-intimidasi-bagian-demokrasi/
*Telegram Channel:* https://t.me/mediaumat

*SOLEIMANI, FUKUYAMA DAN KOBOI TUA ITU**Muhammad Rusli Malik
Menjelang akhir 1980-an. Ada mendung kegelisahan menyelimuti pikiran Mikhail Gorbachev. Ekonomi negara komunis terbesar yang dipimpinnya itu mengalami perlambatan. Daya saingnya melempem. Pengangguran di mana-mana. Sentralisasi politik digugat. Sistem ekonomi terpimpin _(command economy)_ dipertanyakan. Terutama setelah kehabisan energi berperang di Afghanistan. Presiden terakhir Uni Soviet itu lantas membuat gebrakan: *Glasnost* (keterbukaan) dan *Perestroika* (reformasi).
Saat yang sama di Amerika. Seorang Sovietologis muda sedang naik daun. February 1989, peneliti khusus kebijakan luar negeri Uni Soviet di RAND, Santa Monica, itu memberikan ceramah di Universitas Chicago tentang hubungan internasional. Berselang beberapa bulan, ceramah itu terbit di *The National Interest* dengan judul: *”The End of History?”*
Satu tahun setelah bubarnya Uni Soviet (1991), artikel itu kemudian menjelma menjadi buku yang paling banyak dibicarakan. Penulisnya, Yoshihiro Francis Fukuyama, memberinya judul: *The End of History and the Last Men*. Tanpa tanda tanya lagi.
Intinya, dengan merdeka dan berdemokrasinya bekas negara-negara satelit Uni Soviet, pertarungan ideologi telah selesai. Dan pemenangnya adalah liberalisme. ‘Islam’ kalah dengan runtuhnya Dinasti Utsmani usai Perang Dunia Pertama. Fasisme kalah di Perang Dunia Kedua–dengan bertekuk lututnya Jepang, Jerman dan Italia. Komunisme keok dengan berakhirnya Perang Dingin *(Cold War)*.
Sebagai pemangku puncak sejarah, bagi Fukuyama, liberalisme akan mengantarkan umat manusia kepada cita-cita tertinggi dan terindahnya. Yaitu terbentuknya masyarakat madani _(civil society)_ melalui kedamaian demokrasi _(democratic peace)_. Seperti yang digagaskan Hegel dengan teori dialektika sosialnya. Sehingga, menurutnya, ke depan negara-negara yang belum berdemokrasi satu persatu akan melaksanakannya.
Sayangnya, baru satu dekade setelah terbitnya buku itu, Fukuyama sendiri agaknya mempertanyakan ulang gagasannya. Karena negara yang diharapkan menjadi guru dan pembimbing demokrasi menuju masyarakat madani pencipta kedamaian yang berkesejahteraan dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia itu, ternyata menjelma menjadi _superstate_ (negara adidaya) yang bertindak unilateral dan brutal.
Afghanistan diserang. Padahal rakyat negara itu, bersama-sama Mujahidin dari berbagai negara Muslim, telah membantunya mengalahkan Tentara Merah Unisoviet. Pemerintahan Islam Taliban dibuat terkapar. Pemimpin Spiritualnya, Mulla Omar, dipaksa kembali ke gunung-gunung batu Kandahar untuk bergerilya.
Dan setelah membuatnya ‘berdemokrasi’, bukannya tambah damai dan sejahtera, Negara Asia Selatan itu justru menjadi ajang perang saudara. Keberhasilan Afghanistan cuma satu. Menjadi pangkalan militer Amerika yang menjadi penyangga bertemunya negara-negara anti hegemoni: Rusia, China, Iran, dan India.
Dan, sejak itu, Mujahidin tak lagi menerbitkan buku sakunya yang bertitel *”Ayatur Rahman fiy Jihadil Afghan”* (Tanda-tanda Kebesaran Allah pada Jihad di Afghanistan)–seperti, tulisnya di buku itu, darah mereka yang wangi dan petempur mereka yang tak mati dilindas panser.
Dengan menciptakan berita hoax tentang senjata pemusnah massal, Irak diserang. Saddam Husein–setelah dipakai memerangi Iran selama delapan tahun dan gagal–dijatuhkan melalui pengerahan militer besar-besaran. Hasilnya, sumur-sumur minyak dan produksinya dikuasai oleh korporasi-korporasi raksasa dari Amerika.
Masih menggunakan berita _hoax_. Basyar Assad, yang menolak negaranya dilewati pipa minyak yang membentang dari Saudi ke Turki lalu ke Eropa, dicitrakan sebagai penganut Syiah fanatik yang memaksa rakyatnya yang Sunni bersujud ke kakinya.
Perang pun terjadi. Dan Amerika tidak menggunakan tentaranya. Tapi menggunakan tentara bayaran _(mercenaries)_ berbaju agama yang didatangkan dari seluruh penjuru dunia. Namanya macam-macam. Ada Alqaida. Ada Jabhat Al-Nusra. Ada Daesh (ISIS). Dan sebagainya.
Hasilnya? Basyar Assad tetap berdiri kokoh. Berkat bantuan Hezbullah, Iran, dan Rusia. Tapi Provinsi Deir Ez-Zor, Suriah Utara, tempat sumur-sumur minyak potensialnya Suriah, diduduki Tentara Amerika. Di saat yang sama Militer Turki juga masuk ke Suriah untuk melindungi puluhan ribu _mercenaries_ yang kalah dan ditampung di Idlib. Sementara dari arah yang lain, Israel secara rutin menembakkan rudal-rudalnya ke Damaskus dan sekitarnya.
_Hoax_ bahwa Khaddafi adalah pemimpin _Thaghut_ juga digunakan untuk merusuh Libya. Negara yang tadinya paling sejahtera di Afrika Utara itu kini menjadi ajang pertumpahan darah dan penampungan bagi orang-orang yang menjual dirinya untuk dikirim ke Eropa.
Libya kini menjadi medan perang terbuka antara Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) yang berkedudukan di Tripoli dukungan PBB, NATO, dan Amerika melawan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Halifa Khaftar yang didukung Mesir, Yordania, Saudi dan UEA. Belakangan Turki, atas ‘mandat’ dari NATO dan Amerika, sambil membawa sebagian _mercenaries_ dari Suriah, juga menjerumuskan diri ke kancah perang.
Lalu apa motif negara-negara lain itu ikut terlibat dalam persoalan domestik Libya. Jawabannya itu-itu juga: minyak. Dan agenda Israel yang tidak menginginkan stabilitas kawasan.
Motif itu juga yang menyebabkan Yaman terus dibombardir oleh mesin-mesin perang canggihnya Saudi. Hingga kini. Tanpa jeda. Tanpa kenal bulan-bulan Haram dan Ramadan.
Sementara negara zionis Israel, yang dianggap negara demokrasi liberal terpenting di Timur Tengah, cukup berdiri tegak di Tel Aviv sambil menunjuk negara mana lagi yang harus dikacau dan dilemahkan demi memuluskan ekspansi teritorialnya.
Itu di Timur Tengah. Di sisi lain dari bumi, Amerika Latin, juga ada minyak. Terbanyak di Venezuela. Celakanya, sejak Chavez hingga Maduro, Negeri Simon Bolivar itu menolak melibatkan korporasi multinasional yang rata-rata berbasis di Amerika Serikat. Akibatnya, kedua pemimpin Bolivarian itu berkali-kali hendak dijatuhkan. Hendak dikudeta. Hendak dibunuh.
Terakhir hendak ditangkap dan diterbangkan ke Amerika untuk ‘mencium kaki’ Trump. Tapi gagal _maning_, gagal _maning_. Sangsi yang sudah lama diterapkan, kini kian diperketat. Belakangan bahkan sampai nyaris kehabisan BBM. Bayangkan, negara yang aslinya penghasil minyak terbesar di benua Amerika, mengalami krisis minyak.
Tujuannya? Apalagi kalau bukan dalam rangka membuat marah rakyat Venezuela lalu membenci dan meninggalkan Maduro. Sehingga pemimpin oposisi piaraan mereka, Juan Guaido, bisa bertahta dengan manis.
Agar strategi itu berjalan mulus, ancaman ditebar. Trump menggunakan bahasa Koboi. Bahwa kalau ada yang berani mengirim suplai minyak ke Venezuela, mesin perang Amerika akan menghabisinya sebelum sampai ke Laut Karibia.
Iran menerima tantangan itu. Terutama karena didorong oleh semangat pembelaannya terhadap negara-negara _mustad’afin_ (tertindas). Republik Islam itu mengirim lima tanker besar penuh minyak. Pasukan Garda Revolusinya (IRGC) membalas ancaman Trump. Bahwa kalau kapal berbendera Iran tersebut tergores sedikit saja, maka pangkalan militer Amerika di Timur Tengah akan menerima akibatnya.
Andai Jenderal Qassem Soleimani tidak ditembak di Baghdad beberapa waktu lalu oleh drone Amerika, mungkin ceritanya lain. Sangat mungkin ancaman itu dianggap angin lalu saja. (Apalagi, ‘kesalahan’ Komandan Pasukan Quds itu karena berhasil mengalahkan ISIS di Irak dan Suriah, dan berniat salat di al-Quds)
Tetapi Negeri Mulla itu benar-benar menyerang Pangkalan Militer terbaik dan terbesar Amerika di *Ain al-Asad* di Provinsi Anbar, Irak. Sebagai hukuman kepada penumpah darah Soleimani. Dan serangan itu menunjukkan kecanggihan dan tingkat presisi rudal-rudal balistik Iran.
Artinya, negara yang Pemimpin Tertingginya seorang Ulama itu, tidak main-main dengan ancamannya. Nyali ada. Misil ada. Itu sebabnya, para pemerhati politik global ikut tegang. Seraya mengikuti pergerakan tanker itu dari waktu ke waktu.
Namun, akhirnya, Minggu 24 Mei lalu, salah satu dari tanker itu tiba dengan selamat di Venezuela. Maduro sumringah. Dunia tercengang. Para pengamat bernafas lega. Tapi tentara Amerika menganga tak berdaya, bagai Koboi tua yang dilucuti topi dan senjata apinya, yang selama ini digunakan seenaknya menembaki negara-negara yang tak mengikuti keinginannya. Dan itu menandai kemenangan Iran atas Amerika.
Kejadian itu merupakan simpul balik dari amatan Fukuyama. Yaitu bahwa ternyata bukan liberalisme yang menjadi pamungkas sejarah umat manusia. Tapi spiritualisme rasional yang diusung Iran.
Betapa tidak. Negara yang selama empat puluh tahun diembargo, diblokade, perang terhadapnya dipaksakan, dan diisolasi dari berbagai belahan dunia. Dikhianati perjanjian JCPOA-nya. Negara-negara Arab tetangganya disuruh membencinya dengan alasan geopolitik dan faham keagamaan. Justru keluar sebagai pemenang melawan Koboi Dunia.
Jadi ujung dari dialektika sosial bukan pada komunisme global seperti yang dihipotesiskan Marx. Juga bukan pada demokrasi liberal seperti yang diimpikan Fukuyama. Tapi pada demokrasi spiritual yang kini sedang didemonstrasikan wibawa, kecerdasan, ketenangan, dan kecanggihannya oleh Iran.***

BEKAL KEBANGKITAN NASIONAL BARU*Oleh :*Arif Satria*Rektor IPB
Konteks Kebangkitan Nasional 1908 adalah perjuangan sosial politik, karena tantangannya adalah kemerdekaan. Namun saat ini dalam jangka pendek konteks masalahnya adalah bagaimana kita bisa “merdeka” dari pandemic Covid-19 dan lalu memasuki tatanan kehidupan baru yang disebut “the new normal”. 
Semua negara di dunia merasakan masalah pandemic covid-19 dan semua hendak menuju “the new normal”. Apa bekal kita untuk memasuki “the new normal” dan melakukan lompatan pasca “the new normal” sehingga bisa menjadi bangsa yang diperhitungkan dunia? Ada tiga bekal pokok yang mesti kita bawa dalam jangka pendek, yaitu modal sosial, spirit kemandirian, dan inovasi. 
*Modal Sosial* 
Yang diperlukan untuk mengendalikan laju pandemi covid-19 adalah ikatan kebersamaan. Ikatan kebersamaan bisa tercipta karena adanya rasa saling percaya (trust), menguatnya jejaring dan norma kolektif. Inilah yang disebut modal sosial. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang baik dan mudah memberi, sehingga kebersamaan mudah tercipta.
Namun saat ini kita dihadapkan pada tantangan membangun kebersamaan, yaitu kebersamaan pemerintah pusat dan daerah, kebersamaan sesama menteri, kebersamaan antar partai politik, kebersamaan antar kampus, dan kebersamaan antar warga. Ikhtiar untuk membangun konvergensi cara berpikir dan bertindak perlu terus dilakukan. 
Memang konteks dulu 1908 modal sosial kuat karena diikat oleh kesadaran bersama akan nasib penjajahan, lalu tumbuh nasionalisme. Dulu sekat-sekat etnisitas pun pudar karena kebersamaan yang amat tinggi sehingga Sumpah Pemuda lahir 1928. Semua fokus pada satu titik, yaitu perjuangan kemerdekaan. Apakah saat ini kita sudah punya fokus pada satu titik? Apakah Covid-19 sudah menjadi satu titik itu? 
*Spirit Kemandirian*
Pandemi Covid-19 mengajarkan kepada kita perlunya kemandirian. Ketergantungan produk impor obat, alat kesehatan, dan pangan seolah tak terputus. Namun kini kita merasakan betapa semua negara membutuhkan produk-produk tersebut untuk mengatasi problem negaranya sendiri. Karena itu ketidaksiapan kita untuk membangun kemandirian industri kesehatan dan pangan dapat berujung pada krisis baru. 
Salah satu prasyarat untuk mewujudkan kemandirian adalah kepercayaan diri. Optimisme harus selalu ditebar sekaligus memupus rasa inferior. Memang mental inferior akibat penjajahan yang begitu lama masih saja melekat pada diri kita. Anekdot yang menertawai bangsa sendiri masih sering kita temui. Ini adalah pertanda kita mengalami krisis kepercayaan diri. 
Tahun 1990an BJ Habibie sudah memulai dengan semangat kemandirian teknologi, salah satunya dengan industri dirgantara. Sebenarnya yang hendak dibangun oleh beliau adalah meningkatnya rasa percaya diri sebagai bangsa Indonesia.
Ingat, salah satu strategi *Saemaul Undong* Korea Selatan 1960-1970 adalah bagaimana membangun rasa percaya diri masyarakat desa. Kepercayaan diri adalah modal untuk membangun. Kini kita saksikan bagaimana kemandirian Korea Selatan berkat kepercayaan diri masyarakatnya. 
*Inovasi Kaum Pembelajar*
Kini kaum pembelajar dituntut untuk menjadi inisiator kebangkitan baru dengan cara baru, yaitu kebangkitan inovasi. Kemandirian bangsa hanya bisa dicapai dengan kemandirian inovasi anak bangsa. Covid-19 memberi pelajaran bahwa ruang inovasi semakin lebar dan semua negara sedang berjibaku menghasilkan inovasi unggul. 
Ada dua fokus inovasi saat ini, yaitu inovasi untuk menuju “the new normal” dan inovasi untuk mengisi “the new normal”. Apalagi revolusi industri 4.0 telah membuka peluang berinovasi dengan teknologi 4.0 yang lebih murah dan cepat. 
Kita tidak perlu meratapi kondisi inovasi yang masih jauh dari negara-negara lain. Memang dalam Indeks Inovasi Global 2019, Indonesia berada di peringkat 85 dari 129 negara. Bahkan di ASEAN kita berada di urutan ke 7 atau dua terendah. Lihat Singapura (8), Malaysia (35), Thailand (43), Vietnam (42), Filipina (54) dan Brunei (71). 
Kaum inferior yang pesimis akan merespons dengan terus mencemooh situasi “kekalahan” inovasi kita ini. Namun *kaum optimis yang percaya diri akan merespons dengan semangat baru mencari terobosan kebangkitan inovasi*. Apa bekal untuk kebangkitan inovasi? 
Bekal utama kita adalah *manusia unggul*. Singapura yang tidak memiliki sumberdaya alam bisa menempati urutan 8 dunia dalam indeks inovasi global, karena bertumpu pada kekuatan manusia unggulnya. Karena itu tidak ada jalan lain selain melakukan percepatan transformasi pendidikan nasional. 
Pendidikan tinggi adalah media hilir untuk menghasilkan inovasi. Namun manusia unggul di hilir adalah akumulasi dari proses panjang sejak di hulu, yaitu sekolah dasar dan menengah. Gagasan Merdeka Belajar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan bentuk kesadaran akan pentingnya ekosistem untuk menghasilkan manusia kreatif dan unggul, yakni manusia inovatif yang bisa menjadi penentu arah perubahan. Apalagi Menristek juga terus mendorong inovasi nasional. 
Dengan *inovasi, manusia unggul dan sumberdaya alam yang melimpah* mestinya membuat kita jauh lebih unggul dari bangsa lain. 
Jadi bekal modal sosial, spirit kemandirian, dan inovasi itulah yang harus kita perkuat untuk memasuki kebangkitan nasional baru. Optimisme harus terus kita gaungkan sejalan dengan karya nyata. Sesungguhnya *karya nyata itulah inspirasi untuk kebangkitan*.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *