RUU-BPIP CACAT:*MELANGGAR SYARAT KHUSUS RUU DI LUAR PROLEGNAS?*
Oleh : Prof. Suteki
“Sim salabim, Abra kadabra..!!!”RUU BPIP telah “disetor” oleh Pemerintah kepada DPR.Lha kok bisa?Orang Jawa menyebut itu namanya RUU “ujug-ujug”.”Ujug-ujug” ada berkas usulan RUU BPIP tanpa melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Memang benar, sesuai UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan membolehkan DPR, Pemerintah, dan DPD mengajukan RUU) di luar daftar Prolegnas baik jangka panjang (lima tahunan) maupun tahunan.
Namun, pengajuan RUU di luar Prolegnas ini harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur Pasal 23 UU Perubahan Pembentukan Peraturan itu.
Pasal 23 UU No. 15 Tahun 2019 menyebutkan secara limitatif-ekstensif bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas dengan alasan:
1. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
2. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang- Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Apakah RUU BPIP memenuhi kedua syarat limitatif tersebut?Hal ini harus ada kajian ilmiah yang selanjutnya mestinya dituangkan ke dalam naskah akademis RUU BPIP tersebut.Kalau dikaji lagi, sudah adakah Naskah Akademis RUU BPIP, kapan disusun, melibatkan siapa saja?
Aspirasi dari pihak rakyat, para ahli Hukum Tata Negara bagaimana?Apakah di era pandemi covid ini Pemerintah telah melakukan sounding ke berbagai pihak yang menjadi stakeholders RUU BPIP?
*RUU di luar Prolegnas: Inkosistensi Perencanaan*
Jika kita analisis, peluang DPR dan pemerintah untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas sebenarnya menunjukan ketidakyakinan rezim legislator terhadap perencanaan legislasi yang disusunnya sendiri. Pasal 23 ayat (2) UU 15/2019 tersebut mempunyai dampak terkait dengan inkonsistensi perencanaan program legislasi.
Jadi, Prolegnas tidak lagi dapat menjadi pedoman dalam melihat politik legislasi dalam lima tahun ke depan.
Meski masih dalam suasana pandemi covid-19, rezim legislator harus tetap menaati aturan main dalam hal pengajuan usul rancangan undang-undang, baik yang datang dari DPR maupun dari Pemerintah.Sistem yang dibangun bukan untuk membuat “koclak” mesin otomat rezim legislator.
Tidak ada narasi “ujug-ujug” usulan RUU BPIP itu diterima/disetujui dan berlaku untuk menggantikan RUU yang sudah ada yaitu RUU HIP dan realitasnya justru RUU HIP menjadi RUU PRIORITAS PROLEGNAS 2020.
Intinya jika Pemerintah mengusulkan harus menyiapkan secara matang dan oleh karenanya setiap fraksi harus mengkaji untuk akhirnya setuju atau tidak setuju dijadikan pembahasan di DPR bersama Pemerintah.
Sebagaimana diberitakan oleh SI Online (18/07/2020)– Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengkritisi usulan Pemerintah mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP yang tidak melalui prosedur.
Bukhori meminta agar RUU BPIP yang diusulkan Pemerintah tersebut diajukan melalui mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.RUU HIP ini belum ada kejelasan, bahkan belum dicabut dari prolegnas, akan tetapi tiba-tiba RUU BPIP masuk ke prolegnas.
Seharusnya, jika ingin mengganti, maka dicabut dulu RUU HIP-nya kemudian mulai lagi dari awal prosesnya sebagaimana sudah diatur dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib dan Undang-Undang.
Kata orang, segala sesuatu yang berasal dari sampah, hanya akan berakhir menjadi sampah jika orang tidak mampu mengubah dengan segala kearifannya menjadi sesuatu yang berguna lainnya.UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah ada, para ahli perancangan UU juga ada, sistem dan protapnya sudah dibuat, tetapi mengapa kualitas pembentukan perundang-undangan di negeri +62 tidak kunjung “bener”?
Dengan bahan buruk itu mampukah negara hukum (Rule of Law) dengan demokrasinya itu menghadirkan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan sosial (social welfare)?(On The Rule of Law: Brian Z Tamanaha).
Bila kita mau jujur, sistem demokrasi ternyata dijalankan dengan penuh kebohongan.DEMOKRASI mana yang bisa membawa suatu negeri adil makmur sejahtera lahir batin?Negara asal demokrasi pun pernah collapse, Yunani.Amerika yang mengaku “campiun” demokrasi juga faktanya rasis, hutangnya juga tinggi, kemiskinan tidak terelakkan.
OMONG KOSONG DEMOKRASI, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat…itu bohong.Yang benar adalah:
dari korporasioleh korporasiuntuk korporasi
Mengapa begitu?Karena, DEMOKRASI itu KENDARAANNYA KAPITALISME dan IMPERIALISME.Kekhawatiran adanya tyrany mayoritas ternyata yang terjadi malah TYRANY MINORITY.
Jadi, rakyat tetap akan miskin, menderita, teraniaya dan akhirnya tersingkir. Mana pernah ada rakyat menjadi pemegang kedaulatan.Rakyat dianggap ada hanya ketika terjadi PEMILU untuk memilih para Tyran baru atau melanggengkan tyran lama.
Ya itu bukan DEMOCRACY seperti janji-janji palsunya, sistem itu telah menjadi OKHLOKRASI— state yang dikendalikan oleh orang okhlok, yakni orang “bodoh”, tidak tahu cara menjalankan kekuasaan secara benar dan baik—-bahkan berubah menjadi DEMOCRAZY.
Kembali ke persoalan, alih-alih menjadi UU, RUU BPIP tidak layak menjadi RUU karena cacat prosedur dan dari sisi substansi memiliki potensi “merusak sendi kehidupan demokrasi baik di bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Apakah keadaan carut marut ini sebagai pertanda bahwa sesungguh kita tidak sedang berada di negara dengan sistem demokrasi?Dan, dari sisi hukum apakah benar pula bahwa negeri telah menciptakan “trap” baru yakni industri hukum.
Maukah kita mempertahankan RUU BPIP yang cacat itu untuk syahwat politik dalam industri hukum ini? Tidak!
Tuntutan rakyat tetap,
BATALKAN RUU-HIP DAN RUU-BPIP serta BUBARKAN LEMBAGA yang patut dijuluki sebagai “episentrum” gempa politik, yakni BPIP.
Tabik…!
Semarang, 21 Juli 2020
https://www.facebook.com/100039884825644/posts/291904382149054/
Dahsyat Keberanian PDIP Mengacak-acak Sila Ketuhanan By Asyari Usman Sekjen PPP Arsul Sani dengan tegas dan jelas mengukuhkan bahwa RUU HIP dengan segala elemen makar di dalamnya adalah usulan fraksi PDIP di DPR. Itu yang dikatakan Sekjen di acara Dua-Sisi tvOne. Terima kasih atas penjelasan Pak Arsul. Jadi, tidak ada keraguan lagi tentang asal-usul RUU HIP. Artinya, tidak ada lagi teka-teki tentang siapa yang ingin menukangi Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Tidak ada lagi buang badan PDIP perihal upaya mereka untuk mengeliminasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak juga diragukan tentang siapa yang mengusulkan peniadaan Tap MPRS/XXV/1966 yang melarang komunisme-PKI dari deretan konsideran RUU yang sangat berbahaya itu. Blok politik yang mengusulkan itu adalah PDIP, PDIP, dan PDIP. Para elit partai penggemar warna merah ini tidak perlu berkilah lagi. Tidak usah berkelit dan berbelit-belit. Silakan cek langsung ke Pak Arsul dan redaksi tvOne. Nah, salah satu kesimpulan ‘post mortem’ prahara RUU HIP adalah keberanian PDIP mengacak-acak sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Di luar dugaan. Luar biasa berani mereka menunjukkan misi untuk menghilangkan KYME dari Pancasila. Tak mungkin mereka tidak paham reaksi umat Islam. Dahsyat keberanian mereka. Patut diacungkan jempol untuk PDIP. Meskipun mereka sekarang ‘malu hati’. Sekaligus babak-belur. Keberanian itu mirip dengan misi John Rambo (dalam film “Rambo” First Blood, 1982) ketika dia masuk ke jantung pertahanan Vietkong untuk membebaskan tentara Amerika Serikat (AS) yang ditawan Vietnam. Bedanya, Rambo sukses dalam ‘lone impossible mission’ itu. (Amerika pasti selalu sukses dalam cerita film Hollywood. Mana pernah kalah). Sedangkan PDIP ‘kepergok’ dalam upaya menyusupkan agenda anti-ketuhanan. Meskipun ‘kepergok’, keberanian PDIP itu memperlihatkan kesiapan mereka menghadapi konsekuensi apa saja demi pelecehan sila KYME. Dari posisi sila pertama ke posisi nol. Posisi lenyap. Dari tempat yang mulia sebagai pilar utama Pancasila ke posisi ‘ketuhanan yang berkebudayaan’. Yaitu, posisi yang hanya memaknai ketuhanan sebagai produk kebudayaan. Atau setara dengan produk kebudayaan. Untuk kemudian, ujungnya, menghapuskan ketuhanan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa kemungkinan mengapa PDIP sangat berani. Pertama, karena percaya diri sebagai partai terbesar di DPR. Mereka yakin bisa menggiring parpol-parpol lain untuk menerima Trisila dan Ekasila. Dan pada mulanya, enam parpol berhasil digiring. Mereka mendukung RUU HIP. Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem, PKB dan PPP setuju. Tapi, mereka sekarang menolak setelah komponen-komponen besar umat melancarkan perlawanan. Kedua, PDIP mungkin merasa sudah menyiapkan ‘perangkat keras’ untuk melunakkan umat Islam sebagai pihak yang paling lantang menentang. Ketiga, keberanian itu diperlihatkan untuk sekadar ‘mengukur dalamnya air’. Ternyata, air itu masih sangat dalam. Bahkan lebih dalam dari waktu-waktu sebelumnya. Memang selama puluhan tahun ada upaya pendangkalan air umat. Tapi, proyek pendangkalan itu gagal. Keberanian PDIP mengusulkan pelenyapan sila KYME hendaknya disertai tanggung jawab ketika usulan itu menciptakan instabilitas sosial-politik. Rasanya, tidak perlulah diajarkan apa yang harus dilakukan pimpinan partai. Yang jelas, perlawanan keras dilancarkan di mana-mana. Rakyat meminta agar para penanggung jawab Trisila-Ekasila dan peniadaan Tap MPRS/XXV/1966 di deretan konsideran RUU HIP, segera ditindak sesuai hukum yang berlaku. Jangan biarkan berlarut-larut. Jangan pula disepelekan. Aparat penegak hukum, cq Kepolisian RI, tidak perlu menunggu laporan. Sebab, upaya untuk menghapus sila Ketuhanan adalah percobaan makar terhadap dasar negara. 28 Juni 2020(Penulis wartawan senior alumni BBC London)