Maafkanlah hamba Kiai M Faizi, Raedu Basha, ustad Halimi Zuhdy, Kang Joni Ariadinata, Gus Haidar Hafeez, ustad Zainul Walid, tuan Moch Syahri, dan lain-lain karena telah lancang selancang-lancangnya berani posting tulisan begini di media sosial. Daripada hilang ditelan lupa atau dilenyapkan file yang rusak, lebih baik tulisan begini saya buang di sini.
SINGIR KIAI: MEDIUM AMPUH SAMPAIKAN ISLAM
Tombo ati iku (ana) lima warnaneKaping pisan nderes (maca) Qur’an sakmanane
Kaping pindho wong kang sholeh kumpulanaKaping telu sholat wengi lakonana
Kaping papat weteng iro ingkang luweKaping lima zikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sapa wong kang gelem (a)nglakoniInsyaallah Gusti Pengaren ngijabahi
/1/Kita akrab sekali dengan singir atau syi’ir tombo ati di atas. Popularitas syi”ir tersebut tak pernah lekang. Pada masa kiwari syiir di atas melejit kembali secara nasional berkat lantunan Emha Ainun Najib bersama HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat). Cak Nun — panggilan akrab Emha — memang berhasil mengangkat kembali harkat-martabat syi’ir, bahkan menyebarkannya ke kalangan lebih luas. Hal ini kemudian diikuti oleh pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok lain, misalnya Opick. Sekarang di masjid-masjid atau surau-surau, nyaris setiap hari kita dengar syi’ir pengobat hati di atas. Juga di rumah-rumah, bahkan kamar-kamar pribadi bisa setiap saat bergema syi’ir tombo ati. Syiir tombo ati terasa sudah menjadi milik bersama.
Sebenarnya, syi’ir di atas umurnya sudah tua. Sudah lama ada sehingga tak pasti lagi siapa pembuatnya. Ada yang bilang itu sajak Sayyidina Ali. Ada yang bilang penciptanya Sunan Bonang. Ada juga yang bilang penggubahnya KH Bisri Mustofa, ayahanda KH Ahmad Mustofa Bisri. Yang jelas pemopulernya dalam bahasa Jawa dalam bentuk singir adalah K.H. Bisri Mustofa. Di samping itu, yang jelas syiir tombo ati tak leng-kang zaman. Masyhur dan memasyara-kat, sejak dulu hingga kini. Kita amat akrab dengan-ny-a berkat para kyai, mubaliq, dan dai serta para penyanyi. “Sejak dahulu para jemaah masjid-masjid dan surau-surau di pedesaan atau wilayah pinggiran biasa melantunkan syi’ir tombo ati, juga lainnya, sebelum dan sesudah waktu shalat tiba. Apalagi sore hari, menjelang dan sesudah shalat ashar, masjid dan surau tampak hidup sekali berkat lantunan syi’ir para jama-ahnya”, ujar seorang kawan.
/2/Syi’ir bukanlah barang baru. Sejak zaman Rasulullah Saw ia sudah berkembang pesat. Kendati bukan penyair, tak pernah belajar bersyair, bahkan memang menu-rut Allah tak layak bersyair (Q. 36:69), Rasulullah Saw. akrab sekali dengan syi’ir. Beliau amat gemar mendengarkan orang bersyi’ir dan memuji syi’ir yang baik. Malah pernah, pada suatu saat, Rasulullah secara spontan menghadiahkan burdah-nya, sejenis kait hangat yang dipakainya, kepada Ka’ab Ibn Zuhair setelah penyair mukminin terkemuka ini selesai membacakan syi’ir-syi’ir Baanat Su’aadnya yang terkenal. Rasul pun mengizinkan para penyair mukminin, antara lain Hisaan Ibn Tsaabit, Ka’b Ibn Malik, dan Abdullah Ibn Rawahah, untuk membalas serangan para pene-tang Rasul lewat syi’ir.
Begitulah popularitas syiir terus berlanjut ke zaman sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga sekarang. Sekarang nyaris semua orang mengenalnya berkat beragai pihak mengkreasikan dalam berbagai bentuk medium dan modalitas. Berkat jasa Imam Al-Khalil Ibn Ahmad (100-174 H) yang menciptakan ilmu “Arudl, yaitu semacam teknik untuk membaca dan membuat syi’ir, makin populer dan meluaslah syi’ir-bersyi’ir di kalangan umat Islam khususnya di kalangan ulama dan pesantren. Bahkan ulama dan mubalig bisa dibilang sebagai penjaga tradisi syi’ir-bersyi’ir. Tanpa mereka, bisa jadi syi’ir dan tradisi bersyi’ir hilang atau tenggelam. Tak heran, hampir semua ulama besar pasti bisa atau pernah, setidak-tidaknya mengerti syi’ir. Banyak kitab pelajaran agama dan bahasa Arab — yang banyak dipakai di pesantren dan kemudian terkenal dengan nama kitab kuning — sengaja mereka tulis dengan sistem syi’ir, antara lain kitab Az-Zubad, al-Faraid al Bahiyyah, dan al-Khulaashah (atau lebih dikenal dengan nama Al-fiyah Ibnu Malik).
/3/Syi’ir memang jitu atau mujarab buat medium syiar di kalangan masyarakat umum, apalagi masyarakat awam. Di Indonesia, ajaran-ajaran agama Islam yang sulit dicerna dan dipahami bila disampaikan dengan cara ceramah, dengan mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat awam bilamana disampaikan dengan syi’ir. Tak heran, dahulu para wali menyebarkan Islam dengan menggunakan syi’ir, misal-nya Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, dan Walisongo, sehingga lambang-lambang keislaman dapat merasuk-membatin ke dalam masyarakat awam secara halus-lembut, malah membentuk kerangka berpikir mereka tanpa terasa dan gejolak apa-apa.
Di kalangan masyarakat Jawa, malahan Sunan Kalijaga diyakini sebagai tokoh luar biasa yang banyak menciptakan “tembang-tembang dolanan” dan “tembang-tembang bocah” sebagai cara mendakwahkan Islam, antara lain Ilir-ilir yang kini populer kembali berkat berbagai pihak baik invidu maupun kelompok.Sekarang pun para kyai dan mubalig tetap merawat tradisi syi’ir dan bersyi’ir buat menyampaikan ajaran-ajaran Islam, bahkan buat metode atau medium pengajaran Islam ke-pada masyarakat awam. Di Jawa, K.H. Bisri Musthofa, K.H. Ali Maksum, K.H. Muhyidin, dan K.H. Muhammad Asnawi Umar, misalnya, selalu menggunakan syi’ir untuk bumbu tablig-tablig mereka. Mereka malah biasa/produktif menggubah syi’ir dalam bahasa Jawa — yang disebut singir(an) — bertulisan pegon (Arab gundul), lantas menerbitkannya.
Beberapa kiai lain dapat dikemukakan sebagai contoh. KH Bisri Musthofa per-nah menerbitkan Syi’ir Ngudi Susilo (penerbit Menara Kudus, Kudus, 1373H/1952M). KH Muhyidin pernah menerbit Syi’ir Pengantern Anyar (Pendem-Salaman, Magelang, 1387H/1970H) dan Ar-Risalah AL-Kamilah Syi’ir Tun-tutan Sho-lat (Salaman, Magelang, 1987/1970H). Begitu juga KH Muhammad Asnawi Umar pernah menerbitkan Syi’iran Shalawat Luru Ilmu (Pengen, Purworejo, tanpa penerbit, tanpa tahun). Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawir Krapyak, Yogya-karta, pernah me-nerbitkan syi’ir-syi’ir yang pernah dibuat oleh K.H. Ali Maksum dalam Catatan dari K.H. Ali Makshum. Pada masa kiwari — sampai wafatnya — mendiang Gus Dur sering sekali melantunkan syiir tanpo waton di berbagai kesempatan bertemu jemaah. Ini semua menandakan bahwa pondok pesantren, ulama, dan santri menjadi penjaga sekaligus perawat tradisi syi’ir di Indonesia di sam-ping madrasah, mubalig, dai, dan atau juru dakwah.
/4/Kenapa para kiai dan mubalig gemar menggubah dan menggunakan syi’ir untuk tablig dan menyampaikan ajaran Islam? Ya, tentu saja, karena syi’ir disukai-dicintai banyak orang atau masyarakat awam. Kenapa orang atau masyarakat awam begitu suka syi’ir?. Ada beberapa sebab. Pertama, bahasa syi’ir gampang dimamah, dicerna-resapi oleh orang kebanyakan. Kedua, syi’ir dapat dilagukan atau ditembangkan sesuai dengan “not” atau nada lagu yang sudah akrab di kalangan masyarakat khususnya masyarakat “pengajian”. Not itu dijadikan patokan oleh penggubah syi’ir terutama mereka yang tidak menguasai ilmu Arudl. Bagi mereka yang mengerti ilmu ‘Arudl, syi’ir mereka ditandai oleh pas dan enaknya nada lagu dengan kata-katanya. Ringkas kata, syi’ir memang memiliki guru lagu atau pola ke-indahan yang enak, mudah dicerna dan dipakai masyara-kat awam. Sudahlah, orang amat suka syi’ir lantaran syi’ir cospleng dan joss di hati.
Betapa cospleng dan joss-nya sebuah syi’ir, cobalah rasakan sekaligus cerna syi’ir gubahan Al-Maghfurlah KH Ali Maksum dari PP Krapyak berikut. //Awak-awak wangsulana/Pitakonku marang sira/Saka ngendi sira iku/Menyang ngendi tujuanmu//Mula coba wangsulana/Jawaben kelawan cetha/Aneg ngendi urip ira/Saiki sedina-dina//Kula gesang tanpa nyana/Kula mboten gadhah seja/Mung kersane kang kuwasa/Gesang kula mung saderma//Gesang kula sakmenika/-Inggih wonten ngalam donya/Donya ngalam keramean/Isine apus-apusan//Yen sampun dumugi mangsa/Nuli sowan kang kuwasa/Siang dalu sinten nyana/Jer manungsa mung saderma//. Terasa sekali betapa syi’ir berjudul Sangkan Paraning Dumadi (Asal-usul Penciptaan manu-sia) tersebut cospleng dan joss. Kata-katanya dalam larik-larik dan bait-baitnya demikian terpilih sesakma: enak diucapkan, mudah dicerna, dan merdu sekali diba-tinkan atau disuarakan karena serasi, selaras, tertib, dan rapi. Meski mendalam dan sangat mendasar, isinya juga gampang dicerna dan dipahami sebab jelas dan terang, tak berbelit-belit.
Sebagai media dakwah, tentu saja isi syi’ir sarat sekali dengan piwulang dan pitutur. Ajaran-ajaran Islam, tuntunan-tuntunan islami, dan suri teladan islami memenuhi isi syi’ir-syi’ir. Sebagai contoh, syi’ir Gusti Maha Nyiptaake (Tuhan Sang Maha Pencip-ta) — yang tak diketahui pasti siapa penciptanya — berbicara tentang ajaran tauhid-alamiah de-ngan amat bahasa indah sekalipun sederhana dan isi mudah dicerna lantaran disa-jikan secara deskriptif dirangkai dengan contoh-contoh. Kutipannya: //Gu-sti Allah kang kuwasa/-Gawe kewan lan manungsa/Gawe srengenge lan rembulan/-Gawe bumi lan wit-witan//Paring udan migunani/Kanggo nukulake wiji/Tekulan kang mikuwati/Kaya kethang, tela, pari//. Contoh lain, syi’ir Mulyaake Guru (Memuliakan Guru) gubahan KH Bisri Mustofa berbicara tuntunan moral untuk menghormati dan memuliakan seorang guru: //Marang guru kudu tuhu lan ngabekti/Sakabehe prentah bagus dituruti//Piwulange ngertenana kanthi ngudi/Nasehate tetapana ingkang merdi//Larangane tebihana kanthi yekti/Supaya ing tembe sira dadi mukti//.
Syi’ir tak cuma berisi ajaran, tuntunan, dan suri teladan islami secara lang-sung. Tetapi, juga berisi sindiran dan kritik terhadap berbagai gejala yang tak selaras dengan ajaran, tuntunan, dan suri teladan Islam. Orang abangan atau tak melaksa-nakan ajaran Islam dikritik begini dalam syi’ir Islam KTP: //Wong arep ngaji isin karo kancane/Malah ora isin marang pangerane//Terus ngajine ora diperloake/Sing diperlo-ake ngandhaake tanggane//Awak isih waras ra eling pangerane/Mbasan arep mati nye-but nyebut gustine//Akeh wong ngaku Islam agamane/Nanging ora shalat ring limang waktune//. Pergaulan muda-mudi disindir begini dalam syi’ir Watese Srawung Nom-noman (K. Muhyidin): //Campur srawungan wajib dipantes/Srawungan wong wadon kudu diwates//Jo persepenan lan glenas-glenes//Senajan srawung sedulur ipe/Aja guyon-an sak karep-karepe//Senajan ipe iku mahrome/Nanging mbatalake wudhu hukume//-Mahrom ipe iku yen wayuh//Tunggal-tunggale haram digayuh//Semono uga sedulur misan/Aja srawung bebas bebasan//Aja dho guyon lan jegigisan/Mundhak akhire lepas-lepasan//. Dua syi’ir tersebut jelas berisi sindiran terhadap laku tak islami sekaligus tun-tunan yang benar menurut Islam.
/5/Sampai sekarang syi’ir terbukti tetap fungsional dan manjur buat menyampaikan piwulang dan pitutur Islam. Di samping itu, juga tetap populer dan digemari masyarakat awam maupun masyarakat pesantren. Bahkan popularitasnya melampaui sekat-sekat kelompok sosial-ekonomi dan wilayah. Ini menan-dakan, sebagai sebuah bentuk kesenian rakyat, syi’ir tetap eksis, mampu bertahan di tengah gempuran pelbagai bentuk kesenian populer-kontemporer seje-nis lagu dang-dut, pop, atau house music yang liriknya dangkal, malahan tak sedikit yang vulgar. Maka dari itu, kita semua, kalangan manapun, wajib melestarikan, merawat, dan menja-ga tradisi syi’ir-bersyi’ir ini.
Kata kawan yang pernah meneliti syiir Jawa (singir), sebagai aset bangsa, khazanah budaya bangsa yang khas ataupun tradisi Islam khususnya tradisi pesantren di Indonesia, syi’ir memang harus dijaga keberlanjutannya. Pesantren, madrasah, surau, dan kelompok sosial-keagamaan tertentu sebagai kantong utama tradisi syi’ir perlu didorong, bahkan diperkuat untuk terus mempertahankan dan mengembangkan syi’ir. Tradisi syi’ir-bersyi’ir memerlukan penjaga dan perawat yang setia agar tak tergerus oleh kesenian-kesenian kontemporer yang tak fasih berbicara soal Islam. (Djoko Saryono)